Working languages:
English to Indonesian
Arabic to Indonesian
Indonesian to English

zainur rofiq

Malang, Jawa Timur (Djawa Timur), Indonesia
Local time: 23:31 WIB (GMT+7)

Native in: Indonesian (Variant: Standard-Indonesia) Native in Indonesian
  • PayPal accepted
  • Send message through ProZ.com
Feedback from
clients and colleagues

on Willingness to Work Again info
No feedback collected
Account type Freelancer and outsourcer
Data security Created by Evelio Clavel-Rosales This person has a SecurePRO™ card. Because this person is not a ProZ.com Plus subscriber, to view his or her SecurePRO™ card you must be a ProZ.com Business member or Plus subscriber.
Affiliations This person is not affiliated with any business or Blue Board record at ProZ.com.
Services Translation, Editing/proofreading, Subtitling, Transcription
Expertise
Specializes in:
LinguisticsCertificates, Diplomas, Licenses, CVs
Education / PedagogyGeneral / Conversation / Greetings / Letters
EconomicsLaw (general)
Rates

Payment methods accepted PayPal
Portfolio Sample translations submitted: 1
Indonesian to English: EPISTEMOLOGI KAJIAN ISLAM INDONESIA Memperluas Horizon Kajian Islam, Menjawab Tantangan Perubahan
General field: Social Sciences
Detailed field: Religion
Source text - Indonesian
EPISTEMOLOGI KAJIAN ISLAM INDONESIA
Memperluas Horizon Kajian Islam, Menjawab Tantangan Perubahan
Perkembangan jumlah pesantren tersebut ternyata tidak seiring dengan perkembangan jumlah santri. Jumlah santri justru mengalami fluktuasi yang cenderung menurun. Catatan Kementerian Agama menunjukkan bahwa pada tahun 2008 jumlah santri adalah 3.818.469; tahun 2009 berjumlah 3.647.719; tahun 2010 berjumlah 3.652.083; dan pada tahun 2011 berjumlah 3.643.038 (Sumber Kementerian Agama RI: EMIS). Dari catatan tersebut memberikan gambaran bahwa pesantren terus mengalami perkembangan secara kuantitatif. Perkembangan secara kuantitatif itu ditengarai belum diikuti dengan perkembangan kualitas yang memadai. Ulama lulusan pesantren yang semakin langka merupakan salah satu bukti. Bisa jadi, orientasi pendidikan pesantren yang murni tafaqquh fiddin kurang banyak diminati oleh masyarakat.
Peningkatan jumlah pesantren yang terus berkembang ini harus disikapi sebagai sinyal positif. Keterbukaan sikap para pimpinan pesantren saat ini menjadikannya semakin diterima oleh berbagai kalangan secara lebih luas. Terlebih, sampai saat ini pesantren dipandang telah banyak menawarkan varian keunggulan. Sekadar contoh, sekarang ada pesantren yang unggul dalam bidang keilmuan agama, ada juga yang unggul dalam bidang bahasa, pertanian, agrobisnis, dan seterusnya. Keterbukaan pesantren telah memungkinkan ruang inovasi dengan memberikan pendidikan vocational dalam bidang-bidang yang bisa menjadi penyangga self-supporting dan self-financing agar pesantren tetap memiliki watak aslinya, yaitu kemandirian. Pada tataran ini kita bisa memahami bahwa tafaqquh fi al-din telah dimaknai secara lebih luas.
Sejauh ini memang belum ada pesantren yang secara khusus mempelajari ilmu thib nabawi (Herbal), ayurvedic, dan teknologi, namun melihat perkembangannya yang pesat rasanya kita patut optimis dalam waktu yang tidak lama akan muncul pesantren-pesantren demikian. Bahkan, mungkin saja akan ada pesantren yang mengembangkan teknologi nuklir, biologi molekuler, kultur jaringan, dan otomotif di masa-masa mendatang mengingat para kyai muda pengasuh pesantren sekarang banyak yang lulusan perguruan tinggi dan bahkan di antara mereka tidak sedikit yang sudah bergelar doktor. Hal inilah yang dari waktu ke waktu akan terus didorong oleh pemerintah melalui Kementerian Agama dengan berbagai upaya pengembangan pesantren melalui program-program strategis.

Majelis rapat terbuka senat dan hadirin yang saya muliakan,
Dari uraian di atas, setidaknya bisa ditarik kesimpulan sementara bahwa pendidikan pesantren sejak awal berdirinya menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah panjang umat Islam di Indonesia. Dalam perspektif epistemologi kajian Islam ke-Indonesiaan, pesantren menjadi episode penting dari perjalanan Islam di Indonesia. Pesantren yang sampai saat ini tetap eksis menarik untuk dikaji oleh para peneliti bukan saja karena watak kemandiriannya yang khas, tetapi juga kelenturan, sikap pro-aktif, dan akomodatif pesantren dalam merespon berbagai perkembangan politik, sosial, budaya, modernisasi, dan globalisasi.
Agaknya tidak berlebihan jika pesantren dipandang sebagai institusi pendidikan yang memiliki keunikan-keunikan. Pesantren diklaim sebagai bentuk model pendidikan awal Indonesia dan memiliki tradisi mengkaji kitab-kitab klasik seperti Ihya ‘Ulumuddin, Bidayat al-Hidayah, Hidayatul Atqiya’ ila Thariqil Auliya’, dan seterusnya. Pesantren merupakan sebuah institusi pendidikan yang menghubungkan dunia modern dengan tradisi klasik (Feener, 2007).
Tradisi transmisi keilmuan terjadi melalui silsilah guru dengan model ijazah. Tradisi semacam ini tetap terpelihara di lingkungan pesantren-salaf. Selain sebagai bentuk mode transmisi keilmuan pesantren, hal tersebut juga merupakan bentuk penghormatan murid terhadap guru. Bisa jadi hal ini dipandang tidak memiliki makna penting bagi pendidikan modern karena perbedaan konsep dan cara pandang, tetapi dalam konteks pendidikan di pesantren merupakan sesuatu yang penting.
Hal sederhana itu jika dicermati secara seksama akan memiliki makna yang mendalam, sebab secara edukatif, peran kitab-kitab klasik adalah memberikan pengetahuan dan informasi kepada para santri bukan hanya mengenai akidah, fikih, dan tasawuf sebagai landasan dalam beribadah, namun juga mengenai peran-peran kehidupan di masa mendatang. Dengan kata lain, pembelajaran kitab kuning adalah juga memelihara warisan masa lalu dan sekaligus menjadi sebuah legitimasi bagi para santri dalam kehidupan masyarakat lokalnya. Karena tingkat ketinggian ilmu seseorang di antaranya dilihat dari seberapa banyak kitab yang pernah dipelajari. Lebih-lebih jika ia berguru kepada kyai yang menjadi tokoh spiritual kharismatik.

Majelis rapat terbuka senat dan hadirin yang saya muliakan,
4. Tantangan Studi Islam di Indonesia
Pergeseran orientasi studi lanjut dari Timur Tengah ke Barat sejak dasawarsa 1970-an agaknya cukup berpengaruh terhadap model kajian Islam di perguruan tinggi Islam. Sebagai lembaga kelanjutan pesantren dan madrasah yang telah berkembang sepanjang sejarah Islam di negeri ini, kehadiran perguruan tinggi Islam ini semula didirikan atas tiga tujuan utama, yaitu: pertama, untuk melaksanakan pengkajian dan pengembangan ilmu Islam pada tingkat tinggi secara lebih sistematis dan terarah; kedua, untuk melakukan pengembangan dan peningkatan dakwah Islam, sehingga Islam dipahami dan dilaksanakan secara lebih baik oleh mahasiswa dan kaum muslim, dan ketiga, untuk melakukan reproduksi dan kaderisasi ulama dan fungsionaris keagamaan lainnya, baik pada birokrasi negara, maupun lembaga-lembaga sosial, dakwah, dan pendidikan Islam swasta (Azra, 1999; Meuleman, 2000).
Kalau kita mencermati kecenderungan kajian Islam setidaknya menemukan dua kecenderungan. Pertama, kecenderungan kajian Islam pada awal pendirian perguruan tinggi Islam umumnya bersifat non-mazhab, baik dalam fikih, filsafat, sufisme, syariah, maupun tarekat. Meskipun, mayoritas pemeluk Islam di Indonesia pangikut sunni dalam bidang fiqh; dan dalam bidang teologi pengikut Asy’ariyah; serta dalam tasawuf mengikuti al-Gazali. Kedua, kecenderungan bergesernya kajian dari normatif menuju kajian Islam yang lebih bersifat historis, sosiologis, dan empiris. Kajian normatif menghasilkan pandangan serba idealistik terhadap Islam, sementara kajian historis-sosiologis membuka cakrawala pengkaji terhadap realitas sejarah kaum muslim yang selalu berubah sepanjang sejarah. Ketiga, kecenderungan semakin marak dan diminatinya pendekatan model Barat. Hal terakhir ini lebih disebabkan terjadinya orientasi keilmuan dari model Al-Azhar, Timur Tengah, beralih ke model pendekatan Barat, meskipun kehadiran studi model ini tidak serta-merta sepenuhnya diterima kalangan perguruan tinggi islam dan kaum muslim umumnya (Azra, 2012).
Seyogianya lembaga pendidikan tinggi Islam tidak boleh kalah dengan lembaga pendidikan tinggi lainnya, karena lembaga ini bukan saja mengajar dan mendidik, tetapi juga menjaga, mengelola, dan mengembangkan nilai-nilai Islam dan ilmu pengetahuan untuk menciptakan manusia unggul, berkualitas, dan memiliki keterampilan (skill) serta berakhlak mulia. Kepemimpinan perguruan tinggi Islam, oleh karenanya, dituntut harus memiliki visi, misi, dan arah yang jelas melalui tahapan yang sistematis dan terukur serta kemampuan tata kelola yang baik dan bebas dari kepentingan pribadi yang dapat merusak tata nilai akademik dan moral. Untuk itu, kreativitas dan inovasi yang tinggi dalam pengembangan perguruan tinggi Islam menjadi sesuatu yang tidak boleh berhenti.

Majelis rapat terbuka senat dan hadirin yang saya muliakan,
Salah satu hal yang penting diperhatikan adalah tantangan untuk mempertahankan dan mengembangkan tradisi keilmuan keislaman yang semakin lama kurang diminati masyarakat. Saat ini telah terjadi perubahan orientasi masyarakat terhadap arah pendidikan. Kajian-kajian yang bersifat keagamaan kurang mendapat perhatian secara serius. Beberapa fakultas agama di perguruan tinggi islam cenderung menurun peminatnya. Ada anggapan di kalangan calon mahasiswa dan stakeholder bahwa kajian Islam prospeknya tidak sebaik bidang lainnya ke depan.
Salah satu penyebab mengapa kajian Islam terkesan mengalami kemandekan, adalah karena kajian Islam hanya dipandang sebagai studi “agama” yang hanya menyangkut hal-hal yang bersifat ritual dan spiritual. Berbicara Islam kemudian hanya sebatas perbincangan tentang akidah, fikih, akhlak, tasawuf, tarikh, dan bahasa Arab. Padahal “Islam” seharusnya dilihat sebagai konsep kehidupan yang utuh, yaitu meliputi agama, ilmu pengetahuan, dan peradaban secara menyeluruh. Namun selama ini, perbincangan tentang Islam hanya sebatas menyentuh aspek-aspek agama, ritual, dan spiritual. Oleh karena itu, pandangan dan pemikiran masyarakat tentang kajian Islam yang sempit semacam ini perlu dilakukan perubahan.
Islam yang direfleksikan dalam al-Qur’an dan hadits selalu meliputi berbagai aspek kehidupan. Al-Qur’an adalah al-huda, at-tibyan, al-furqan, dan seterusnya. Sudah seharusnya Islam dimaknai sebagai ajaran yang luas seluas kehidupan alam semesta ini. Sebagai rahmatan lil alamin, Islam tidak perlu dibela, tetapi harus dijadikan pegangan hidup. Islam tidak perlu dikhawatirkan runtuh oleh kekuatan akal manusia yang lemah. Hakikat Islam itu tidak akan bisa dikalahkan oleh kekuatan manapun. Studi Islam seharusnya menampilkan sosok ajaran yang terbuka, memuat konsep-konsep kehidupan yang menyeluruh, kokoh, dan logis dalam makna yang seluas-luasnya. Oleh karena itu, lembaga pendidikan Islam harus terbuka, berani berdialog, dan mempersilakan kalangan manapun untuk mengkaji dan mempelajarinya.
Sebagai bangsa yang besar, bangsa yang memilliki jumlah umat Islam terbesar di dunia tentu merupakan sebuah potensi yang amat luar biasa bagi negeri ini dalam percaturan antarbangsa. Sayangnya, potensi besar ini kurang disadari dan mendapat perhatian umat Islam sendiri. Kebesaran bangsa bukan hanya ditentukan dari sisi kuantitatif, dan juga bukan ditentukan dari sisi luas wilayah yang ditempati. Akan tetapi, bangsa besar akan sangat ditentukan oleh kebesaran cita-cita bangsa itu sendiri. Lebih-lebih, Indonesia sebagai bangsa besar ini dikenal sebagai bangsa yang religius, bangsa yang dekat dengan ajaran agamanya, yaitu agama Islam. Sebuah agama yang memiliki dua sumber rujukan utama yaitu al-Qur’an dan Hadits. Salah satu pesan Rasulullah saw. adalah :
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما: كتاب الله ، وسنة نبيه
Aku tinggalkan kalian dua perkara, jika kalian berpegang teguh pada keduaya kalian tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan sunnah Nabinya. (riwayat Malik dari Abi-Hurairah)

Majelis rapat terbuka senat dan hadirin yang saya muliakan,
Di tengah perhatian pemerintah yang sangat besar terhadap upaya meningkatkan kualitas pendidikan, terutama kepada para pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) diharapkan dapat meningkatkan kualitas lembaga yang dipimpinnya. Sebagai pimpinan, di pundak kita ada beban tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan. Masyarakat senantiasa mengharapkan agar perguruan tinggi semakin berkualitas, sehingga dapat bersaing di tengah tingginya kompetisi yang senantiasa menghadang di depan kita.
Kita sadari bersama, bahwa kualitas perguruan tinggi Islam di negeri ini masih memerlukan usaha yang lebih serius, sistematis dan terukur agar kualitas proses pendidikan semakin baik. Sesungguhnya kita memiliki sejumlah peluang yang dapat kita raih untuk mengembangkan kualitas perguruan tinggi Islam agar mengungguli kualitas perguruan tinggi di negara-negara maju. Arah pengembangan perguruan tinggi Islam diharapkan dapat menemukan celah dari tiga model perguruan tinggi yang selama ini berkembang yaitu teaching university, research university, dan enterpreneur university. Ketiga model tersebut dapat dipilih dan/atau dikombinasikan untuk dijadikan arah pengembangan PTI ke depan. Seluruh perguruan tinggi Islam harus saling berpacu meningkatkan kualitas lembaga pendidikan berkualitas khas dengan mengarahkan kepada salah satu atau penggabungan dari model di atas. Dengan kualitas yang khas ini, perguruan tinggi Islam akan dapat menjawab tantangan dan problem kekinian yang semakin besar dan dinamis.
Dalam pandangan saya perguruan tinggi Islam yang ideal adalah perguruan tinggi yang menggabungkan tiga tradisi besar (great tradition) yaitu: tradisi kelembagaan pesantren yang mandiri, lentur, dan tangguh; memiliki basis riset yang kuat dan hubungan internasional yang luas; dan model pengabdian masyarakat yang berorientasi dakwah bil-hal. Pengembangan tiga tradisi besar dalam perguruan tinggi Islam ini tentu akan menghasilkan lulusan berkualitas secara intelektual dan profesional, menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkualitas, dan ikut serta dalam memecahkan masalah masyarakat baik secara nasional maupun kemanusiaan antarbangsa. Dalam kaitan itu, pemerintah dan para pendidik tidak boleh berhenti mendorong keterlibatan Perguruan Tinggi Islam dalam turun memecahkan persoalan bangsa.
Dewasa ini, masalah-masalah sosial dan keagamaan terus bermunculan, baik korupsi, tawuran, kekerasan atas nama agama, narkoba, maupun hadirnya gerakan Islam transnasional yang sangat meresahkan masyarakat. Sementara kita belum menyaksikan keterlibatan perguruan tinggi, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dalam sebuah upaya untuk dapat memberikan rekomendasi yang didasarkan atas studi multidisiplin yang mendalam yang secara akademik dapat dipertanggungjawabkan untuk memecahkan masalah-masalah nasional tersebut. Terlebih, dalam bentuk desain besar (grand design) kebangsaan yang bersifat komprehensif secara sistematis, terukur, dan terevaluasi secara periodik. Hal semacam ini merupakan kerja besar dengan melibatkan interdisiplin, multidisiplin, dan bahkan lintas disiplin keilmuan. Inilah barangkali salah satu argument perlunya kita melakukan reorientasi studi keislaman di lingkungan perguruan tinggi Islam. Islam yang dikaji dari sisi normatif saja tentu tidak akan pernah memadai menyentuh sampai pada persoalan-persoalan kekinian yang mendasar.
Masih sering kita temui pada sebagian orang Islam yang melakukan klaim-klaim kebenaran yang membuat umat Islam menjadi bingung. Bisa jadi, hal ini merupakan bukti pemahaman keislaman mereka berbasis ideologi Islam yang diusung dari luar. Mereka ingin menancapkan ideologi berhaluan keras dan berusaha untuk melenyapkan budaya dan tradisi bangsa ini. Mereka ingin menggantinya dengan budaya dan tradisi asing dan bernuansa tetapi diklaim sebagai budaya dan tradisi Islam. Padahal Islam di Indonesia dikenal dengan Islam yang lembut, toleran, dan penuh kedamaian sebagaimana yang pernah ditulis Newsweek (23/9/1996) bahwa Islam di Indonesia sebagai “Islam with a smiling face”.
Lebih-lebih tokoh-tokoh historis semacam KH. A. Wahid Hasjim, Abikusno, KH. A. Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, Teuku Mohammad Hassan, dan tokoh-tokoh penting pendiri bangsa lainnya telah memberikan contoh kongkret bahwa negara yang mereka perjuangkan dan pertahankan bukanlah negara yang didasarkan pada agama tertentu, melainkan negara bangsa yang mengakui dan melindungi segenap agama, beragam budaya dan tradisi yang telah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia. Para tokoh pendiri bangsa itu telah memposisikan negara sebagai institusi yang mengakui keragaman, mengayomi semua kepentingan, dan melindungi segenap keyakinan. Melalui Pancasila mereka menghadirkan agama sebagai wujud kasih sayang Tuhan bagi seluruh makhluk-Nya dalam arti yang sebenar-benarnya (Wahid, 2009).

Majelis rapat terbuka senat dan hadirin yang saya muliakan,
Meskipun demikian, kita juga melihat bahwa terdapat kelompok-kelompok yang ingin mendirikan negara Islam secara konstitusional. Namun sikap ormas-ormas keagamaan, NU dan Muhammadiyah misalnya, maupun partai-partai politik berhaluan kebangsaan menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 merupakan bentuk final dan konsensus nasional bangunan kebangsaan kita. Kebesaran sikap ini sesungguhnya didasarkan pada realitas historis, budaya, dan tradisi bangsa kita yang pernah melahirkan dan mengalami peradaban besar Hindu, Budha, dan Islam selama masa Kerajaan Sriwijaya, Mataram I, Kediri, Singosari, Majapahit, Demak, Aceh, Goa, dan Mataram II.
Pengalaman inilah yang menegaskan kesadaran kita bahwa negara bangsa yang mengakui dan melindungi beragam keyakinan, budaya dan tradisi bangsa Indonesia merupakan pilihan tepat bagi bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Keteladanan para tokoh semacam Pangeran Diponegoro, Tjut Nyak Dien, Teuku Tjik Di Tiro, demikian juga para wali dan auliya seperti Syarif Hidayatullah, Sunan Kalijaga, Maulana Malik Ibrahim, dan para tokoh sejarah lain yang berpikir kebangsaan patut kita suri tauladani. Gagasan besar mereka inilah yang kemudian mengalir dalam pikiran-pikiran tokoh generasi selanjutnya yang telah dengan tepat mengungkapkan kesadaran spiritual yang menjadi landasan kokoh Indonesia modern dan melindunginya dari perpecahan sejak proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945.
Kita tidak boleh terjebak, apalagi hanyut oleh pandangan-pandangan sekelompok masyarakat yang mencoba memperjuangkan Islam dengan cara-cara kekerasan, karena mereka bukan saja menolak budaya dan tradisi yang selama ini telah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia. Mereka juga ingin menjadikan umat Islam dengan mudah tertuduh/dituduh kafir atau murtad hanya karena tidak sepaham dengan ideologi gerakan mereka. Barangkali mereka mengerti Islam, tetapi pengertian mereka tidak sampai pada substansi ajaran Islam itu sendiri (Wahid, 2009). Barangkali kita sendiri pun belum mampu menerjemahkan secara tepat kebenaran ajaran Islam antara ultimate values dalam Islam dengan kondisi-kondisi sekarang yang memerlukan penerjemahan-penerjemahan secara tepat dan kontekstual. Namun, satu hal yang pasti bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Kalau Islam konseptual adalah Islam teoretis, maka Islam aktual adalah Islam yang praktis. Dari sudut sosiologi pengetahuan, diketahui bahwa dalam Islam yang teoretis maupun yang praktis itu, pada hakikatnya termuat berbagai bentuk hubungan teori dan praktek politik. Sebab, Islam yang “sejati” tidak ada yang tahu kecuali Allah swt. dan rasul-Nya. Sehingga, Islam yang aktual adalah Islam yang ditafsirkan. Dan, bagaimana seseorang menafsirkannya, tentu sangat tergantung dan dipengaruhi oleh berbagai hal seperti kondisi sosial, budaya, dan kepentingan politis baik disadari maupun tidak.
Dalam pandangan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pemahaman Islam yang berkembang di kalangan kaum muslimin selama berabad-abad dapat dikategorikan menjadi dua bagian utama: Pertama, pendekatan yang dilakukan sangat subjektif, yang terbawa oleh keterlibatan terlalu dekat dengan obyek upaya pemahaman itu sendiri. Ini tidak mengherankan, karena bagaimana pun setiap muslim diperintahkan untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar yang tidak lain berarti perintah mewujudkan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Kewajiban ini membuat mereka sangat mendambakan terwujudnya masyarakat ideal di muka bumi ini, sehingga mau tidak mau kedambaan itu mempengaruhi hasil pemahaman yang dilakukan, menjadi tidak lagi realistis sepenuhnya.
Kedua, pendekatan non-kompromistis dalam menggambarkan ciri-ciri, watak, dan gaya kehidupan masyarakat Islam, sehingga pemahaman yang dihasilkan terlepas hampir seluruhnya dari kerangka kesejarahan. Tendensi untuk selalu presisi dalam penggambaran masa emas (the golden age) kehidupan para sahabat dan tabi’in merupakan salah satu contoh yang bisa dikemukakan dalam konteks ini. Seolah-olah masyarakat waktu itu demikian sempurna. Kedua cara pandang di atas itu menurutnya, setidaknya dipicu oleh dua hal utama; (a) perkembangan kaum muslim selama berabad-abad senantiasa menunjukkan dua perkembangan kembar, yaitu semakin merosotnya kekuatan sosio-politis kaum muslim yang dibarengi oleh semakin berkembangnya kekuatan sosio-kulturalnya; (b) kemunduran besar dalam dunia Islam yang menerbitkan rasa pesimis. Kecenderungan ini menimbulkan sikap yang menunjuk kepada “kelebihan-kelebihan" peradaban Islam atas peradaban lain (Wahid, 2009).



Majelis rapat terbuka senat dan hadirin yang saya muliakan,
Bertolak dari pandangan di atas, dengan melihat realitas di berbagai belahan dunia, Islam pernah mengalami puncak kejayaan peradaban, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa di beberapa tempat lain, Islam justru mengalami kemunduran dan bahkan tenggelam ditelan perubahan zaman. Dinamika Islam dalam sejarah peradaban umat manusia, dengan demikian, sangat ditentukan oleh pergumulan sosial yang pada akhirnya akan sangat berpengaruh dalam memberi warna, corak, dan karakter Islam di wilayah itu, termasuk Islam di Indonesia.
Kenyataan membuktikan bahwa dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan banyak pakar ditemukan berbagai corak karakter Islam di berbagai tempat. Geertz di dalam karyanya Islam Observed, menemukan perbedaan corak Islam Maroko yang puritan dan Islam Indonesia yang sinkretis. Bahkan, di dalam karya penelitiannya tentang Agama Jawa, Geertz secara lebih khusus lagi membagi dalam beberapa varian: Abangan, Santri, dan Priyayi (Geertz, 1960; Martin Varisco, 2005). Tentang gerakan Islam di Indonesia, Deliar Noer (1980) juga membagi Islam dalam kategori Islam tradisional dan Islam modernis. Demikian pula Azyumardi Azra, ketika memetakan gerakan Islam, mengenalkan konsep Islam fundamentalisme, modernisme, dan post-tradisionalisme. Kategorisasi dan corak yang diberikan para pakar tersebut mungkin sudah kurang relevan dalam beberapa hal seiring dengan penelitian terbaru. Tetapi berbagai kategori dan variasi Islam yang telah dikenalkan oleh para pakar tersebut setidaknya membenarkan proposisi bahwa fenomena ”Islam aktual” adalah fenomena yang eksistensinya sangat dipengaruhi lingkungan sosial dan budaya.
Berpijak dari cara pandang seperti itu, perlu diteliti lebih jauh bagaimana Islam diproduksi oleh masyarakat santri Jawa (Indonesia) melalui tradisi keberagamaan multikultural. Reproduksi Islam di sini maksudnya adalah proses interaksi antara Islam dengan tradisi masyarakat lokal. Dalam asumsi teori konstruktivisme, posisi individu dalam masyarakat ditempatkan sebagai subyek yang mampu membangun realitas sosio-kulturalnya. Realitas objektif yang telah diciptakan itu dapat digunakan sebagai medium simbolik dan tata cara berinteraksi dalam rangka mempertahankan eksistensinya. Dalam perspektif Emile Durkheim, manusia tidak dilihat dari kacamata ilmu sosial murni yang memposisikan manusia sebagai objek dari dunia sosial. Akan tetapi, fakta sosial adalah sesuatu yang harus dinyatakan sebagai apa yang berada di luar individu, dan fakta sosial itulah yang kemudian memaksa individu harus berperilaku dan bertindak.
Terkait dengan ini, di Indonesia masih ditemukan beragam praktik keberagamaan Islam populer yang di dalamnya menyimpan semangat dan nilai-nilai yang menjadi spirit bagi perkembangan Islam Nusantara. Untuk menampilkan kembali semangat Islam Nusantara dengan berbagai warna dan corak yang ada di dalamnya tentu tidak lepas dari sejarah penyebaran Islam awal yang dimainkan walisongo sebagai penyebarluas Islam di Jawa. Hal itu menjadi argumentasi pentingnya diteliti tentang bagaimana reproduksi Islam dalam tradisi keberagamaan populer yang terjadi di lingkungan masyarakat lokal. Kekayaan semacam ini menjadikan studi Islam ke-Indonesiaan menjadi lebih menarik untuk dikaji dan dikembangkan di lingkungan perguruan tinggi Islam di Indonesia.

Majelis rapat terbuka senat dan hadirin yang saya muliakan,
5. Pendidikan Integratif Berbasis al-Qur’an
Al-Qur’an adalah hudan li al-nas, kompas kehidupan bagi umat manusia. al-Qur’an juga sebagai al-bayyinat, memuat keterangan yang sangat jelas bagi manusia. al-Qur’an juga sebagai al-furqan, memuat penjelasan antara yang haq dan yang bathil. Dan yang lebih penting al-Qur’an mengandung petunjuk untuk mendapatkan inspirasi lebih mendalam, al-hikmah dan sekaligus sumber ilmu pengetahuan.
Sebagai sumber ilmu yang datang dari Allah swt, sang pencipta, al-Qur’an bukan saja mengandung kisah-kisah sebagai sumber ibrah atau pelajaran. Al-Qur’an juga mengandung prinsip-prinsip hidayah yang berbicara tentang moralitas, akidah, akhlak, dan lain-lain. Bahkan, al-Qur’an juga memberikan landasan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Al-Qur’an juga berbicara tentang pentingnya sains, misalnya pernyataan al-Qur’an yang mengungkap tentang gunung sebagai penyeimbang bagi bumi.
             
Artinya :
Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan yang luas, agar mereka mendapat petunjuk (Q.S. al-Anbiya’, 31).

Ayat lain berbunyi :
       
Artinya :
Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?, dan gunung-gunung sebagai pasak?, (Q.S. an-Naba’ 6-7)

6. Catatan Penutup
Sebagai uraian penutup, ada beberapa pemahaman penting yang dapat digarisbawahi: Pertama, kajian Islam ke-Indonesiaan menjadi sangat mendesak untuk dilakukan secara serius, mengingat model ini menjadi sebuah harapan untuk menjawab persoalan-persoalan bangsa dan kemanusiaan di masa depan; Kedua, perlu penataan kembali tentang format pendidikan Islam baik menyangkut orientasi, kurikulum, maupun kelembagaan secara menyeluruh dan mendasar. Ketiga, harus ada keberanian dan keterbukaan bagi semua pihak untuk mencari alternatif terkait dengan konsep, paradigma dan cara pandang baru secara terus-menerus sejalan dengan tantangan zaman yang selalu berubah.
Selanjutnya, Islam harus dipahami dalam konteks kehidupan yang luas dan tidak terbatas hanya menyangkut persoalan ritual dan spiritual. Islam tidak cukup diperkenalkan lewat kajian tauhid, fiqh, akhlak, akidah, dan tasawuf.
Islam adalah ajaran yang bersifat universal. Kalau selama ini ada pandangan bahwa ber-tafaqquh fid din hanya dimaknai sebatas kajian yang terkait dengan ilmu ushuluddin, syari’ah, tarbiyah, dakwah, dan adab, maka pemahaman semacam itu harus diubah. Pandangan semacam itulah yang menjadikan peradaban Islam sulit berkembang dan maju.
Ber-tafaqquh fid din sesungguhnya memiliki spektrum yang luas, yaitu seluas kehidupan itu sendiri. Al-Qur’an dan al-Hadits sebagai kitab suci harus diposisikan sebagai petunjuk, pembeda, penjelas, dan rahmat bagi umat Islam khususnya, dan umat manusia umumnya dalam menjalani kehidupan ini. Dengan Islam akan diraih kehidupan adil dan sejahtera bagi pemeluknya dan umat manusia secara keseluruhan. Jika konsep ini berhasil kita wujudkan, maka tidak mustahil umat Islam akan memimpin peradaban dunia.
Sebelum mengakhiri pidato pengukuhan ini, dengan segala kerendahan hati saya ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada: Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Prof. Dr. H. Imam Suprayogo selaku Ketua Senat, dan para anggota senat Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, promotor saya yakni: Yth Prof. Dr. M. Amin Abdullah, MA, Yth Prof. Dr. Azhar Arsyad, MA, dan Yth Prof. Dr. Muhaimin, MA. Saya juga sangat berterima kasih kepada seluruh guru saya dan para ulama yang telah memibimbing saya. Salah satunya adalah al-Mukarom Mbah K.H. Maemun Zubeir, Rembang. Wabil khusus, saya sangat berterima kasih kepada Ibunda, ayahanda, istri tercinta, anak-anak dan cucu saya yang terus menjadi sumber inspirasi dan motivasi saya dalam bekerja. Saya Juga mengucapkan terima kasih kepada para undangan yang telah memberikan perhatian pada acara penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa ini.
Demikian, semoga pandangan-pandangan dalam pidato pengukuhan ini dapat memberikan manfaat walau hanya sebutir pasir bagi pengembangan lembaga pendidikan Islam di tanah air, dan menjadi sumbangsih walau hanya sekecil zarah dalam khazanah Epistemologi Kajian Islam di Indonesia.
Terima kasih.
Wallahul muwafiq ila aqwaamitthariq.
Wassalamu’alaikum wr. Wb.

DAFTAR RUJUKAN

Abdullah. M. Amin. 2010. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ahmad, Baharuddin. 2011. Islamic Science in the Contemporery World. Malaysia: ISTAC-IIUM.
Anshoriy, Naruddin. 2008. Bangsa Inlander: Potret Kolonialisme di Bumi Nusantara. Yogyakarta: LKiS.
Azra. Azyumardi. 2012. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III. Jakarta: Kencana Perdana Media.
-------- . 1999. “Melacak Pengaruh dan Pergeseran Orientasi Tamatan Kairo”, dalam Mona Abaza. Pendidikan Islam dan Pergeseran Orientasi. Jakarta: LP3ES.
-------- . 1998. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII; Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: Mizan.
Arsyad, Azhar. Buah Cemara Integrasi dan Interkoneksi Sains dan Ilmu Agama, (Jurnal HANAFA: Jurnal Studia Islamika, Vol. 8, No. 1, Juni 2011)Balashov, Yuri and Alex Resenberg. 2002. Philosophy of Science. London-New York: Routledge.
Effendy, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.
Feener, R. Michel. 2007. Muslim Legal Thought in Modern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.
Freely, John. 2011. Light from the East: How Islamic Helped Shape the Western World. IB. Tourist.
Geertz, Clifford. 2005. “Islam Observed Again” in Daniel Martin Varisco. Islam Obscured: Contemporary Anthropology of Religion. New York: Palgrave Macmillan.
-------- . 1960. The Religion of Java, New York: The Free Press.
Holt, PM. (ed.), 1984. The Cambridge History of Islam. Vol. 2. Cambridge: Cambridge University Press.
Huff, Toby E. 2009. The Rise of early Modern Science: Islam, China, and the West. Camridge University Press, Cambridge, UK)
Ismail, SM. Dkk., 2002. Dinamika Pesantren dan Madrasah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Israely, Raphael and Anthony Johns (ed). 1984.. Islam in Asia. Hebrew University.
Kelin, Peter D. 1998. “Epistemology, Routledge Encyclopedia of Philosophy, CD-ROM Version 1.0. London:Routledge.
Kusmana (ed)., 2006. Integrasi Keilmuan; UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas Riset. Jakarta: PPJM dengan UIN Jakarta Press.
Laffan, Michael Francis. 2001. Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the Winds, London: Routledge.
Madjid, Nurcholish. 2000. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.
-------- . 1998. “Mencari Akar-akar Islam bagi Pluralisme Modern: Pengalaman Indonesia” dalam Mark R. Woodward, Jalan Baru Islam. Bandung: Mizan.
Meuleman, Johan Hendrik. 2000. “IAIN di Persimpangan Jalan” dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo. Problem dan Prospek IAIN. Jakarta: Departemen Agama RI.
Mun’im DZ., Abdul. 2010. “Islam Nusantara”. dalam Proceeding Annual International Conference of Islamic Studies, 2010.
Noer, Deliar. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
Nurcholish, 2010. “Dialog dan Dialektika Islam dan Budaya Lokal” dalam Proceding Annual International Conference of Islamic Studies ke-X, 10 November.
Qomar, Mujammil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga.
Saifullah. 2010. Sejarah Kebudayaan Islam di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santos. Arysio. 2010. Atlantis: the Lost Continent Finally Found. Jakarta: Publishing House.
Saridjo, Marwan. 2010. Pendidikan Islam; Dari Masa ke Masa. Jakarta: Yayasan Ngali Aksara.
Steenbrink, Karel A. 1994. Pesantren, Madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES.
Suprayogo, Imam. 2009. Universitas Islam Unggul; Refleksi Pemikiran Pengembangan Kelembagaan dan Reformulasi Paradigma Keilmuan Islam. Malang: UIN-Malang Press.
Suriasumantri, Jujun S., 1987. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Cet. Keempat. Jakarta: Sinar Harapan.
Wahid, Abdurrahman. 2000. Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute.
--------- . 2009. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: Wahid Institute.



BIODATA

Nama : Drs. H. Suryadharma Ali, M.Si
Lahir : Jakarta, 19 September 1955
Agama : Islam
Zodiak : Virgo
Warga Negara : Indonesia
Isteri : Dra. Hj. Wardatul Asriah
Anak : 1. Kartika Yudistira Suryadharma
2. Sherlita Nabila Suryadharma
3. Abdurrahman Sagara Prakasa
4. Nadia Jesica Nurul Wardani
Menantu : Rendhika Deniardy Harsono
Cucu : Akbarrasyad Fadyan Surya Harsono
Alamat (dulu) : Jl. Pakis Raya Blok AA 13 No 4, Perumahan Pondok Pekayon Indah, Bekasi
Alamat (kini) : Jl. Jaya Mandala VII No 2, Menteng Dalam, Jakarta Selatan

Pendidikan:
 SD Tanjung Priok, Jakarta Utara (1969)
 SMP Pesantren Darul Qur’an, Cisarua, Bogor (1974)
 SMA/PGA Pesantren al-Falah, Pagentongan, Bogor (1977)
 S-1, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta (1983).
 S-2, Ilmu Sosial, Universitas Indonesia, Jakarta (2003).

Pengalaman Pekerjaan:
 1985-1999 : Bekerja di PT Hero Supermarket, Tbk, terakhir sebagai Deputi Direktur PT. Hero Supermarket, Tbk.
 2001-2004 : Anggota DPR dari Fraksi PPP dan Ketua Komisi V DPR RI.
 2004-2009 : Bendahara Fraksi PPP MPR RI.
 2004-2009 : Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah RI ke-8.
 2007-2012 : Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
 2009-2014 : Menteri Agama Republik Indonesia ke-21.
 2011-2016 : Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Pengalaman Organisasi:
 Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
 Ketua Umum Cabang PMII Ciputat, Jakarta (1981-1982).
 Ketua Umum PB PMII (1985-1988)
 Wakil Sekjen Asosiasi Pedagang, Pengicer dan Pertokoan Indonesia (AP3I).
 Dewan Pembina PP GP Ansor.
Pengurus di berbagai organisasi ritel Indonesia.
Translation - English
THE EPISTEMOLOGY OF ISLAMIC STUDIES IN INDONESIA
Extending Islamic Studies Horizons, Responding To the Challenges
The number of pesantren is not in line with the growing number of students. The number of students had fluctuated and tended to decrease slightly. Ministry of Religious Affairs’ records show that in 2008 the number of students is 3,818,469; in 2009 is 3,647,719; in 2010 is 3,652,083, and in 2011 is 3,643,038 (Source of Ministry of Religious Affairs: EMIS). This idea suggests that pesantren had developed quantitatively. The quantitative development is allegedly not followed by the development of adequate quality. Increasingly scarce Ulama who graduate from pesantren is a tangible proof. It could be that pure tafaqquh fiddin’s pesantren education orientation is less demanded by the public.
A continuously increasing number of pesantren that evolve should be addressed as a positive signal. The openness of pesantren leaders today makes it more acceptable to a wider circle. Moreover, until recently, pesantren is regarded to have offered much strength. For example, there are now pesantren that excel in the field of religion science, some others in the languages, agriculture, agribusiness, and so forth. Pesantren’s openness has allowed space of innovation by providing vocational training in areas that could be self-supporting and self-financing to show pesantren’s original character, namely independence. At this level, we can understand that tafaqquh fi al-din has been interpreted more broadly.
So far there has been no pesantren that specifically studies Thib Nabawi (Herbal), ayurvedic, and technology, but seeing the rapid progress it seems that we should be optimistic that in not too distant future pesantren would appear so. In fact, maybe there will be pesantren that develop nuclear technology, molecular biology, tissue culture, and automotive in the future given the fact that many young kyai now, as caregivers of pesantren, are college graduates and even not a few among them who have a doctorate degree. This is why, from time to time, the government through the Ministry of Religious Affairs will continuously encourage pesantren’s development through strategic programs.
Respectable open senate meeting council and Ladies and Gentlemen,
From this, a tentative conclusion can be drawn that, since its inception, pesantren education has been an integral part of the long history of Muslims in Indonesia. In the perspective of epistemology of the study of Indonesian Islam, pesantren becomes an important episode of the journey of Islam in Indonesia. Pesantren that exists until now is interesting to be studied not only because of its distinctive character of independence, but also its flexibility, pro-active attitude, and accommodating pesantren in response to the political, social, cultural, modernization, and globalization developments.
It seems not excessive if pesantren is seen as an educational institution which has uniqueness. Pesantren is claimed to be the model of early Indonesian education and has a tradition of reviewing the classic books such as Ihya 'Ulumuddin, Bidayat al-Hidayah, Hidayatul Atqiya' ila Thariqil Auliya ', and so forth. Pesantren is an educational institution that connects the modern world with the classical tradition (Feener, 2007).
The tradition of knowledge transmission takes place through the lineage of teachers with ijazah. Such tradition is kept alive in the pesantren-salaf. Aside from being a form of knowledge transmission modes of pesantren, it is also a form of student-to-teacher respect. It, somehow, might have no significance to the modern education due to differences in concepts and perspectives, but in the context of pesantren education is essential.
Such a simple matter, if examined closely, will have a deep meaning because the educative role of the classic books is to provide knowledge and information to the students not only about theology, jurisprudence, and Sufism as a basis in worship, but also the roles in the future life. In other words, learning the classic books is also to maintain the legacy of the past and also becomes legitimacy to santri in their local communities’ life. It is because the broadness of one’s knowledge is, among others, seen from how many books have been learned. Moreover, if he studied them from kyai of a charismatic spiritual figure.
Respectable open senate meeting council and Ladies and Gentlemen,
4. Challenges of Islamic Studies in Indonesia.
The shift in the orientation of further studies from the Middle East to the West since the 1970's seems quite influential to the model of Islamic Studies at the Islamic universities. As an adjunct institution of pesantren and madrasah that have evolved throughout the history of Islam in this country, the presence of Islamic universities is originally founded on three main objectives: firstly, to carry out the studies and development of Islamic studies at a high education level in a more systematic and directed way, secondly, for the development and improvement of the propagation of Islam, thus Islam is better understood and implemented by students and Muslims, and third, to carry out reproduction and regeneration of ulama and other religious functionaries, both at the state bureaucracy, social and propagation, and private Islamic education institutions (Azra, 1999; Meuleman, 2000).
If we look at the trend of Islamic studies, at least there found three tendencies. First, the trend of Islamic studies at the beginning of the establishment of Islamic universities is generally non-school, either in jurisprudence, philosophy, Sufism, Sharia, or tarekat. In fact, the majority of Muslims in Indonesia are Sunni adherents in fiqh, Ash'arite followers in theology, and al-Ghazali followers in Sufism. Second, the trend has shifted from the normative towards more historical, sociological, and empirical Islamic studies. Normative studies produce idealistic view of Islam, while the historical-sociological studies open the researchers’ horizons of the reality of Muslim history that which has always changed throughout history. Third, the widespread of Western model approach. It is more due to the recent scientific orientation of the Al-Azhar model, the Middle East, turning to the West approach model, despite the presence of these model of studies are not necessarily fully accepted by the Islamic universities and Muslims in general (Azra, 2012).
Islamic higher education institutions should not be inferior to other higher education institutions, as they not only teach and educate, but also maintain, manage, and develop the values of Islam and science to create excellent, qualified, skillfull and noble mankinds. The leadership of Islamic universities is, therefore, required to have vision, mission, and direction through the systematic and measurable stages, the ability of good governance and free from self-interest that can undermine the academic values and morals. To that end, high creativity and innovation in the development of Islamic universities should not be stopped.
Respectable open senate meeting council and Ladies and Gentlemen,
One of the important points is a challenge to maintain and develop the Islamic scientific tradition that so long lacking the public interest. Currently, there has been a communities’ change in the orientation of the direction of education. Religious studies are less seriously taken into consideration. Some faculties of religion in Islamic universities decrease in demand. There is a perception among prospective students and stakeholders that Islamic studies prospects are not as good as other fields in the future.
One of the reasons why the Islamic studies seem to stagnate is because the Islamic studies are only seen as a study of "religion" that is merely related to ritual and spiritual matters. Discussion on Islam is then only about theology, jurisprudence, ethics, Sufism, history, and Arabic. In fact, "Islam" must be seen as a complete concept of life including religion, knowledge, and civilization as a whole. But so far, the topic of Islam is limited to the aspects of religion, ritual, and spiritual. Therefore, such narrow views and concerns of the public towards Islamic studies are subject to the reform.
Islam, as reflected in the Qur'an and hadith, always covers various aspects of life. The Qur'an is al-huda, at-Tibyan, al-furqan, and so on. Islam should be understood as broad teachings as the life. As rahmatan lil alamin, Islam does not need to be defended, but it should become the way of life. Islam is not necessarily feared to collapse of the weak power of the human mind. The nature of Islam cannot be defeated by any force. The study should show Islam as the figure of open teachings containing the concepts of life overall, solid, and logical in the broadest sense. Therefore, Islamic educational institutions should be open, courageous to dialogue, and welcome to any parties to study and learn.
As a great nation with the largest number of Muslims in the world, this fact would be a very great potential for this country to compete among other nations. Unfortunately, such great potential is lacking from Muslims’ awareness and attention. The greatness of the nation is neither determined quantitatively nor from the total area occupied. However, then, the nation’s greatness will be largely determined by the greatness of the ideals of the nation itself. Moreover, Indonesia is known as a great and religious nation that is close to their religion, namely Islam. Islam is a religion which has two main referral sources of the Qur'an and Hadith. One of the Prophet’s says is:
Meaning:
I left you two things, if you cling to both, you would not get lost, which is the book of Allah and the Sunnah of His Prophet. (Reported by Malik from Abi-Hurairah)
Respectable open senate meeting council and Ladies and Gentlemen,
In the middle of a very large government’s attention to improve the quality of education, the leaders of Islamic universities (hereinafter: PTAI) are especially expected to improve the quality of the institution they lead. As a leader, there is huge burden and responsibilities at our hands. Community always expects Islamic universities to progress in quality; therefore, they can compete in the high competition in front of us.
We realize that the quality of Islamic universities in the country still needs a more serious, systematic and scalable effort in order to better the quality of the educational process. In fact we have a number of opportunities to improve the quality of Islamic universities in order to surpass the quality of universities in developed countries. The development direction of the Islamic university is expected to find a gap of three models of universities that have been developed, namely Teaching University, Research University, and Entrepreneurial University. All three models can be selected and / or combined to become the future development directions of PTAI. All Islamic universities should race each other to improve the quality of distinctively qualified educational institutions by directing to any one or combination of the above models. With distinctive quality, the Islamic university will be able to meet the present challenges and problems that are increasingly large and dynamic.
In my view, the ideal Islamic universities are universities that incorporate three great traditions, namely: independent, flexible, and resilient pesantren’s institutional tradition; having a strong research base and extensive international relations, and community service-oriented in da'wah bil-hal. The development of the three major traditions of Islamic universities will certainly produce intellectually and professionally qualified graduates, produce qualified science and technology, and participate in solving both national and international community problems and humanities. In this regard, the government and educators should not stop encouraging the involvement of the Islamic universities in solving national problems.
Today, social and religious problems of corruption, conflict, and violence in the name of religion, drugs, and the presence of a transnational Islamic movement that continuously emerge and are disturbing the public. While we have not seen the involvement of universities, both individually and collectively, to provide recommendations based on an in-depth multidisciplinary study which is academically reliable to solve national problems. Moreover, in the form of grand design of nationality that is comprehensive, systematic, measured, and evaluated periodically. This sort of thing is a big job, involving interdisciplinary, multidisciplinary, and even across disciplines. This is perhaps one of the arguments why we need to reorient Islamic studies at the Islamic universities. Islam that is solely studied normatively would not be sufficient to touch up on fundamental contemporary issues.
We often find some of the Muslims who perform the truth claims that confuse Muslims. It may be that it is evident that their understanding on Islam is based on Islamic ideology brought from outside. They want to instill the hardline ideology and seek to eliminate the culture and traditions of this nation. They want to replace it with foreign culture and traditions which have Islamic nuances but then claimed as parts of it. In fact, Islam in Indonesia known as gentle, tolerant, and peaceful as Newsweek (9/23/1996) once described that Islam in Indonesia as "Islam with a smiling face".
Moreover, the historical figures such as KH. A. Wahid Hasjim, Abikusno, KH. A. Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, Teuku Mohammad Hassan, and other important figures of founding fathers have given concrete examples that the country they fought for and defended is not based on a particular religion, rather it recognizes and protects all religions, diverse cultures and traditions that have become an integral part of the nation of Indonesia. The nation's founding fathers have positioned the state as an institution that recognizes diversity, protects all interests and faiths. Through Pancasila, they project religion as a manifestation of God's love for all His creatures in its true meaning (Wahid, 2009).
Respectable open senate meeting council and Ladies and Gentlemen,
However, we also see that there are some groups that want to establish an Islamic state in a constitutional manner. But the religious mass organizations, such as NU and Muhammadiyah, as well as nationalist wing-political parties ultimately state that the Republic of Indonesia based on Pancasila and the 1945 Constitution and the final form of national consensus of our nation. The greatness of this attitude is actually based on historical realities, culture, and traditions of our nation that put forth and had great civilizations of Hinduism, Buddhism, and Islam during the Srivijaya kingdom, Mataram I, Kediri, Singosari, Majapahit, Demak, Aceh, Goa, and Mataram II.
This experience strengthens our awareness that the nation recognizes and protects the diverse believes, cultures and traditions of Indonesia is the right choice for our nation and state. The exemplary of the leaders such as the Prince of Diponegoro, Tjut Nyak Dien, Teuku Tjik Di Tiro, as well as the wali and auliya like Sharif Hidayatullah, Kalijaga Sunan Maulana Malik Ibrahim, and other historical figures who concerned with the nationality deserve to be followed. Their big idea is then passed in the minds of the next generation leaders who expressed the right spiritual awareness into the bedrock of modern Indonesia and protected it from the division since the proclamation of independence in 1945.
We should not get trapped, or even influenced by the views of a group of people who try to fight for Islam by violent means, because they not only reject the culture and traditions that have become an integral part of Indonesia. Also, they want to make Muslims easily accused as infidels or apostates simply because they disagree with their movement’s ideology. They, perhaps, understand Islam, but they do not come to the substantive understanding of the Islamic teaching itself (Wahid, 2009). We are, too, however still unable to interpret the truth of the Islamic teachings accurately between the ultimate values of Islam with the present conditions that require accurate and contextual interpretations. However, certainly, Islam teaches its followers to be rahmatan lil 'alamin.
If conceptual Islam is theoretical Islam, then the actual Islam is a practical Islam. From the sociology of knowledge’s view, it is known that both in the theoretical and the practical Islam essentially contain various forms of relationship between theories and practices. Since, in fact, nobody knows the "true" Islam but Allah and His messengers. Thus, the actual Islam is an interpreted Islam. Furthermore, how one interprets it, of course, is highly dependent and influenced either consciously or not by various matters such as the social, cultural, and political interests.
In Abdurrahman Wahid’s view (Gus Dur), a growing understanding of Islam among the Muslims over the centuries can be categorized into two main parts: First, the approach taken is very subjective, resulting from the too close-involvement of the object of understanding itself. This is not surprising, because every Muslim is ordered to amar ma’ruf nahi munkar which means a command to implement the Islamic teachings in public life. This obligation makes them crave the realization of the ideal society on earth; therefore it inevitably affects the outcome of the understanding and becomes no longer entirely realistic.
Second, non-compromising approach in describing the traits, character, and life style of the Islamic community, thus the understanding is almost entirely detached from historical framework. The tendency to always precisely depict the golden age of the friends and tabi'in’s lives is an example that can be presented in this context that as if the past Islamic communities were so perfect. The two perspectives above, he says, are at least triggered by two main things: (a) the development of Muslims over the centuries always shows twin developments, namely the socio-political degeneration of the Muslims followed by the development of socio-cultural forces; (b) a major setback in the Islamic world that results in pessimism. This trend raises attitude to glorify "the strengths" of Islamic civilization over other civilizations (Wahid, 2009).
Respectable open senate meeting council and Ladies and Gentlemen,
Departing from the abovementioned views and seeing the reality in many parts of the world that the Islamic civilization once reached the top civilization, but it is undeniable that in some other places, Islam had experienced setbacks and even submerged by the changing of time. The dynamics of Islam in the history of human civilization, therefore, is largely determined by the social struggle, which in turn will be very influential in giving the color, style, and character of Islam in the region, including Islam in Indonesia.
The fact proves that the various results of studies have discovered various shades of the character of Islam in various regions. Geertz, in his Islam Observed, found differences between Moroccan puritanical Islam from syncretic Islam of Indonesia. In fact, in his research paper on Religion of Java, Geertz more specifically divides Islam into several variants: Abangan, Santri, and Priyayi (Geertz, 1960; Martin Varisco, 2005). In relation to the Islamic movement in Indonesia, Deliar Noer (1980) also categorizes Islam into traditional and modernists Islam. Similarly, Azyumardi Azra, when mapping the Islamic movement, introduces the concept of Islamic fundamentalism, modernism, and post-traditionalism. The categorization and patterns given by the experts may be less relevant in some cases along with the latest researches. However, through these, at least we can justify the proposition that the phenomenon of "actual Islam" is a phenomenon whose existence is strongly influenced by social and cultural environment.
On the basis of the current perspective, it should be investigated further on how Islam is produced by the santri of Java (Indonesia) through multicultural religious traditions. Reproduction of Islam here means that the process of interaction between Islam and local traditions. In the assumption of the theory of constructivism, the position of the individual in society is placed as the subject able to build socio-cultural reality. Objective reality that has been created can be used as a symbolic medium and pattern of interaction to maintain their existence. In the perspective of Emile Durkheim, human beings are not seen from the eyes of a pure social science that positions humans as objects of the social world. However, the social fact is something that must be expressed as outside the individual and it, then, forces individuals to behave and act.
In relation to this, it is still found a variety of popular Islamic religious practices in Indonesia in which keep the spirit and values of the spirit for the development of Islam Nusantara. To broadcast the spirit of Islam Nusantara with its different colors and patterns, certainly, cannot be separated from the history of early Islamic propagation by Walisongo in Java. It is the importance of researching on how Islam is reproduced in the popular religious traditions occuring in their local communities. Such wealth makes the study of Indonesian Islam become more interesting to be studied and developed in the Islamic universities in Indonesia.
Respectable open senate meeting council and Ladies and Gentlemen,
5. Qoran-Based Integrated Education.
Al-Quran is hudan li al-nas, a compass of all mankinds’ life. Al-Quran is also al-bayyinat, containing clear news for all humans. Al-Quran is also as al-furqan, containing the explanation of the truth and false. And more importantly, Al-Quran contains guidance for getting deeper inspiration, al-hikmah and the source of knowledge. As a source of knowledge that comes from Allah, the creator, Al-Qur'an not only contains stories as a source of ibrah or lesson. Al-Quran also contains principles of hidayah that talk about morality, faith, morals, and others. In fact, Al-Quran also lays a foundation for the development of science. Al-Quran also speaks of the importance of science, such as the statement in the Al-Quran that reveals the mountain as a counterweight to the earth.

Meaning:
And We have created great mountains in the earth lest it might be convulsed with them, and We have created in it wide ways that they may follow a right direction (Q.S. al-Anbiya’, 31).

Meaning:
Have not We created the earth an even expanse? | And the mountains as projections (thereon) (Q.S. an-Naba’ 6-7)

Respectable open senate meeting council and Ladies and Gentlemen,
6. Concluding Remarks.
For the final words, there are some important insights that can be highlighted: First, the study of Indonesian Islam is urgent to be carried out seriously, considering this model as a hope to address the problems of the nation and humanity in the future; Secondly, there needed a realignment of Islamic education format, either in relation to orientation, curriculum, and institution thoroughly and fundamentally. Third, there must be a courage and openness for all parties to find alternatives related to the concepts, paradigms and new perspectives on an ongoing basis and in line with the ever-changing challenges of the time.
Again, Islam must be understood in the wider context of life and is not limited only to the ritual and spiritual matters. Islam is not sufficiently introduced through the study of monotheism, jurisprudence, morality, theology, and mysticism.
Islam is a universal teaching. If there is a view that tafaqquh fid din is only defined in relation to Ushuluddin, Shariah, tarbiyah, preaching, and adab, thus, this kind of understanding should be changed. Such a view makes the Islamic civilization hardly grow and prosper.
Tafaqquh fid-din actually has a wide spectrum as the life itself. Al-Quran and al-Hadith as Scriptures should be positioned as a guide, the differentiator, explanatory, and mercy particularly for Muslims and humanity in general. Through Islam, just and prosperous life would be achieved by its followers and mankinds as a whole. If the concept successfully comes true, Muslims would likely lead the world civilization.
Before ending this inaugural speech, with all humility, I would like to express much gratitude to: the Rector of the State Islamic University of Maulana Malik Ibrahim Malang, Prof.. Dr. H. Imam Suprayogo as Chairman of the Senate, and the Senate members of the State Islamic University of Maulana Malik Ibrahim Malang, my promoters namely: Prof. Dr. M. Amin Abdullah, MA, Prof. Dr. Azhar Arsyad, MA, and Prof. Dr. Muhaimin, MA. I am also very grateful to all my teachers and ulama who have guided me. One of them is al-Mukarom Mbah K.H. Maemun Zubeir, Rembang. Particularly, I am very grateful to my mother, father, beloved wife, children and grandchildren who become source of inspiration and motivation in my work. I also would like to thank the guests who have given attention to this award ceremony of honorary doctorate.
Eventually, I hope the views in this inaugural speech can be beneficial for the development of Islamic educational institutions in the country, and contributive to the Epistemology of Islamic Studies in Indonesia.
Thank you.
Wallahul muwafiq ila aqwaamitthariq.
Wassalamu'alaikum wr. Wb.



























REFERENCES

Abdullah. M. Amin. 2010. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ahmad, Baharuddin. 2011. Islamic Science in the Contemporery World. Malaysia: ISTAC-IIUM.
Anshoriy, Naruddin. 2008. Bangsa Inlander: Potret Kolonialisme di Bumi Nusantara. Yogyakarta: LKiS.
Azra. Azyumardi. 2012. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III. Jakarta: Kencana Perdana Media.
-------- . 1999. “Melacak Pengaruh dan Pergeseran Orientasi Tamatan Kairo”, dalam Mona Abaza. Pendidikan Islam dan Pergeseran Orientasi. Jakarta: LP3ES.
-------- . 1998. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII; Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: Mizan.
Arsyad, Azhar. Buah Cemara Integrasi dan Interkoneksi Sains dan Ilmu Agama, (Jurnal HANAFA: Jurnal Studia Islamika, Vol. 8, No. 1, Juni 2011)Balashov, Yuri and Alex Resenberg. 2002. Philosophy of Science. London-New York: Routledge.
Effendy, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.
Feener, R. Michel. 2007. Muslim Legal Thought in Modern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.
Freely, John. 2011. Light from the East: How Islamic Helped Shape the Western World. IB. Tourist.
Geertz, Clifford. 2005. “Islam Observed Again” in Daniel Martin Varisco. Islam Obscured: Contemporary Anthropology of Religion. New York: Palgrave Macmillan.
-------- . 1960. The Religion of Java, New York: The Free Press.
Holt, PM. (ed.), 1984. The Cambridge History of Islam. Vol. 2. Cambridge: Cambridge University Press.
Huff, Toby E. 2009. The Rise of early Modern Science: Islam, China, and the West. Camridge University Press, Cambridge, UK)
Ismail, SM. Dkk., 2002. Dinamika Pesantren dan Madrasah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Israely, Raphael and Anthony Johns (ed). 1984.. Islam in Asia. Hebrew University.
Kelin, Peter D. 1998. “Epistemology, Routledge Encyclopedia of Philosophy, CD-ROM Version 1.0. London:Routledge.
Kusmana (ed)., 2006. Integrasi Keilmuan; UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas Riset. Jakarta: PPJM dengan UIN Jakarta Press.
Laffan, Michael Francis. 2001. Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the Winds, London: Routledge.
Madjid, Nurcholish. 2000. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.
-------- . 1998. “Mencari Akar-akar Islam bagi Pluralisme Modern: Pengalaman Indonesia” dalam Mark R. Woodward, Jalan Baru Islam. Bandung: Mizan.
Meuleman, Johan Hendrik. 2000. “IAIN di Persimpangan Jalan” dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo. Problem dan Prospek IAIN. Jakarta: Departemen Agama RI.
Mun’im DZ., Abdul. 2010. “Islam Nusantara”. dalam Proceeding Annual International Conference of Islamic Studies, 2010.
Noer, Deliar. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
Nurcholish, 2010. “Dialog dan Dialektika Islam dan Budaya Lokal” dalam Proceding Annual International Conference of Islamic Studies ke-X, 10 November.
Qomar, Mujammil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga.
Saifullah. 2010. Sejarah Kebudayaan Islam di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santos. Arysio. 2010. Atlantis: the Lost Continent Finally Found. Jakarta: Publishing House.
Saridjo, Marwan. 2010. Pendidikan Islam; Dari Masa ke Masa. Jakarta: Yayasan Ngali Aksara.
Steenbrink, Karel A. 1994. Pesantren, Madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES.
Suprayogo, Imam. 2009. Universitas Islam Unggul; Refleksi Pemikiran Pengembangan Kelembagaan dan Reformulasi Paradigma Keilmuan Islam. Malang: UIN-Malang Press.
Suriasumantri, Jujun S., 1987. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Cet. Keempat. Jakarta: Sinar Harapan.
Wahid, Abdurrahman. 2000. Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute.
--------- . 2009. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: Wahid Institute.









CURRICULUM VITAE
Name : Drs. H. Suryadharma Ali, M.Si
DOB : Jakarta, 19 September 1955
Religion : Islam
Zodiac : Virgo
Nationality : Indonesia
Wife : Dra. Hj. Wardatul Asriah
Children : 1. Kartika Yudistira Suryadharma
2. Nabila Sherlita Suryadharma
3. Abdurrahman Sagara Prakasa
4. Jesica Nurul Nadia Wardani
Son in Law : Rendhika Deniardy Harsono
Grandchildren : Akbarrasyad Fadyan Surya Harsono
Address (former) : Jl. Ferns Kingdom Block AA 13 No. 4, Pekayon Pondok Indah Housing, Bekasi
Address (current) : Jl. Jaya Mandala VII No. 2, Menteng Dalam, South Jakarta

Education:
 SD Tanjung Priok, North Jakarta (1969)
 SMP Pesantren Darul Qur'an, Cisarua, Bogor (1974)
 High School / PGA al-Falah Islamic School, Pagentongan, Bogor (1977)
 S-1, the State Islamic Institute (IAIN) Sharif Hidayatullah, Jakarta (1983).
 S-2, Social Sciences, University of Indonesia, Jakarta (2003).

Work Experiences:
 1985-1999: Worked in PT Hero Supermarket, Inc., most recently as Deputy Director of PT. Hero Supermarket, Tbk.
 2001-2004: Member of Parliament from the PPP and the Chairman of the Commission V of the House of Representatives.
 2004-2009: Treasurer PPP MPR.
 2004-2009: State Minister for Cooperatives and Small and Medium RI-8.
 2007-2012: Chairman of the Central Board (DPP) United Development Party (PPP).
 2009-2014: Minister for Religious Affairs of the Republic of Indonesia to the 21.
 2011-2016: Chairman of the Central Board (DPP) United Development Party (PPP).

Experience Organization:
 Activists Indonesian Islamic Students Movement (PMII).
 Branch Chairman PMII Ciputat, Jakarta (1981-1982).
 Chairman PB PMII (1985-1988).
 Deputy Secretary General of the Association of Retailers and Shopping Indonesia (AP3I).
 Board of Trustees PP GP Ansor.
 Board at various retail organizations in Indonesia.


Translation education Bachelor's degree - Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki Malang
Experience Years of experience: 14. Registered at ProZ.com: Jun 2013.
ProZ.com Certified PRO certificate(s) N/A
Credentials N/A
Memberships N/A
Software Microsoft Word
Bio
No content specified


Profile last updated
Sep 26, 2013